Chocolate Chip & Vanilla: Coming of Age

Saya tidak pernah menyangka akan tertarik untuk bercerita di sini lagi. Kali ini, izinkan saya untuk menulis lagi dengan canggung.

Sudah tiga tahun berlalu sejak post terakhir saya yang penuh emosi. Kehidupan bergulir cepat. Saya berpindah tempat tinggal, pulang ke negara asal, kembali berkuliah, menyelesaikan studi, dan sekarang terdampar di ibukota seperti banyak sarjana lainnya. Skenario yang mudah diprediksi, dan cenderung membosankan. Tapi sekarang, setidaknya tiga minggu belakangan, hidup ini terasa lebih … menarik.

Kepindahan saya ke Jakarta bulan April lalu bukanlah sesuatu yang saya nanti-nantikan. Kalau bukan karena banyaknya peluang kerja dan besaran gaji yang lebih layak, rasanya saya akan memilih untuk tinggal di kota lain saja selepas kuliah. Bagi saya, Jakarta adalah hiruk pikuk dan kepulan asap knalpot. Kelabu, kotor, dan ribut. Hanya satu hal yang meringankan hati saya saat pindah ke Jakarta: kota ini adalah kolam yang lebih besar, dengan ‘organisme’ yang lebih beragam. Saya tidak bisa berhenti membayangkan ragam orang yang akan mengisi hidup saya di Jakarta. Saya tidak sabar untuk bertemu dengan mereka.

Orang-orang pertama yang mengisi hidup dan kemudian menjadi ‘circle’ pertama saya di Jakarta adalah kolega-kolega saya di kantor. Mereka orang-orang yang menarik dan penuh warna dengan berbagai latar belakang. Mereka berbeda dari orang-orang dalam lingkup pertemanan saya selama ini. Mereka menyegarkan. Mereka adalah orang-orang pertama dalam hidup saya yang membuat saya merasa begitu ‘vanilla’.

Sebagai perempuan yang terlahir di keluarga keturunan Cina yang religius dan tertutup, saya bukanlah tipe anak idaman para orangtua. Sejak kecil, saya menolak bertumbuh menjadi boneka porselen idaman mereka yang cantik namun rapuh dan butuh perlindungan ekstra dari lingkungannya. Saya memberontak dan melanggar banyak peraturan tidak tertulis dalam budaya keluarga. Saya mengunjungi banyak tempat dan membuka pertemanan dengan banyak manusia yang akan diberi bermacam label oleh mereka. Mungkin karena inilah saya merasa sudah melihat dunia dan memahami isinya. Tapi saya lupa, memahami dan mengalami adalah dua hal yang jauh berbeda.

Bulan Juli tahun ini adalah puncak saya merasa menjadi manusia yang begitu ‘vanilla’. Bermula dari drinking games di sebuah pesta kantor, kolega-kolega saya berbagi pengalaman mereka tentang banyak hal, termasuk sebagian besar di antaranya adalah hal-hal seksual. Oh, never have I ever felt so vanilla in my life. Malam itu saya merasa telah melewatkan banyak hal yang ditawarkan oleh hidup ini. Saya banyak merenung setelahnya tentang betapa saya menutup diri terhadap hubungan romantis 5 tahun terakhir ini, tentang betapa dangkalnya pemikiran saya selama ini, tentang batasan-batasan yang saya buat untuk diri saya, dan tentang betapa saya memahami banyak hal tapi tidak pernah membuka diri untuk mengalaminya sendiri.

Tiga bulan berlalu sejak perenungan saya dimulai, dan tiba-tiba saja hidup seolah memunculkan dan membuka satu pintu yang selama ini eksistensinya tidak pernah terpikirkan oleh saya. Adalah pria ini yang sudah lama saya ‘kenal’. Ruang maya Twitter memang terkenal mudah membuat ilusi seolah kita mengenal manusia di balik persona akun-akun yang muncul di linimasa kita. Namun sungguh, saat pertama kali bertemu dengannya, pria ini lebih terasa seperti teman lama yang sudah tidak saya kenali lagi penampilannya. Saya tidak merasa begitu canggung seperti bertemu orang asing. Hanya butuh sedikit waktu untuk membiasakan diri dengan logat, intonasi, dan ekspresi wajahnya.

Sejak awal kami berkontak dan memutuskan bertemu, saya tahu pertemuan ini akan mengubah beberapa hal dalam hidup saya. Kami tidak bertemu untuk memulai sebuah pertemanan platonis, pun bukan untuk sebuah hubungan romantik pada umumnya. Singkatnya, kami punya tujuan berbeda yang bisa dicapai dengan cara yang sama. Saya tidak tahu sampai kapan dan sampai ke mana hubungan ini akan berjalan, namun sejauh ini saya menganggap dirinya sebagai pembawa kepingan cokelat dalam hidup saya yang vanilla ini dan rasa baru ini sepertinya boleh juga 😉

~

Sejujurnya untuk post selanjutnya ingin rasanya menulis erotika, tapi sungguhlah saya masih perlu banyak belajar pada ahlinya. (Looking at you, P, one of my very few & curated followers) 😛

Sebatang Pertama

“Apa bedanya Marlboro dengan Dji Sam Soe?” tanya saya polos.

“Nih, coba saja,” jawabnya sambil mengulurkan kotak Marlboro Lights Gold miliknya.

Saya menggeleng.

“Nanti saja, kalau tidak banyak orang.”

Sudah beberapa hari saya memperhatikannya menghisap batang-batang tembakau itu dengan seksama. Di mobil. Di restoran. Di kamar hotel. Saya memperhatikan caranya memegang batang silinder berwarna putih di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, caranya menghisap dan menghembuskan kepulan asap putih di sela-sela obrolan kami, hingga caranya mematikan puntung rokok di sebuah asbak bergambar daun cannabis yang dikalungi salah satu teman seperjalanan kami. Hingga di suatu siang, saya menanyakan pertanyaan lugu itu kepadanya. Pertanyaan yang sebenarnya memiliki makna lain yang berusaha saya sembunyikan dengan halus. Pertanyaan yang akhirnya berhasil ia jawab dengan sempurna.

Sejak kecil, saya tidak pernah akrab dengan rokok. Ayah saya tidak merokok, begitupun ibu. Kata salah satu paman saya, ayah tidak bisa merokok karena selalu terbatuk saat menghisapnya. Tetapi hal ini tidak sepenuhnya benar. Beberapa kali saya melihat ayah pulang mengantungi rokok berkotak merah marun di polo shirt-nya. Ayah bilang, beliau seorang social smoker. Teman-teman ayah perokok. Saya kenal baik beberapa dari mereka. Ketika ayah sedang bersama dengan mereka, beliau akan merokok sebatang dua batang untuk bersosialisasi. Selebihnya tidak pernah. Beliau tidak pernah benar-benar menyukai rasanya. Beliau juga tidak menyukai wanita yang merokok. Terkesan nakal, katanya.

Kakak perempuan dan adik laki-laki saya juga tidak pernah sekalipun menyentuh gulungan kertas isi tembakau ini. Tentu saja maksud saya mereka tidak pernah terlihat menyentuh benda ini. Bila mereka merokok sembunyi-sembunyi, tentu saja saya tidak tahu. Tetapi mereka tidak pernah terlihat merokok di berbagai kesempatan. Begitu pula sepupu-sepupu dekat saya. Mereka semua berjumlah sepuluh orang dan tidak ada satupun dari mereka yang merokok.

“Katanya kemarin-kemarin mau belajar merokok? Tidak jadi?” tanyanya sambil menyalakan sebatang Marlboro miliknya.

“Ya, Jadi… Tapi tidak di sini.” jawab saya cepat.

“Hm? Memang kenapa?”

“Kost saya tepat di gedung sebelah. Saya tidak mau ketahuan Ibu atau Bapak Kost kalau saya merokok. Bisa repot nanti. Lagipula semua pelayan di restoran ini kenal wajah saya. Tidak lah, tidak sekarang.”

Ia hanya tersenyum sambil kembali sesekali mengepulkan asap putih dari mulutnya.

Tumbuh di lingkungan bebas rokok pernah membuat saya membenci perokok. Imej mereka tidak pernah baik di mata saya. Teler. Kecanduan. Bau. Mengganggu orang lain. Di masa SMP-SMA, saya dengan tegas menyatakan perang dengan rokok dan para penggunanya. Lingkungan sekolah saya pun relatif bersih dari rokok. Tidak seperti SMA di film-film yang saya tonton, siswa yang merokok di sekolah saya bisa dihitung dengan jari. Hanya anak-anak paling nakal di sekolah yang berani melakukannya. Itu pun di toilet.

Entah kenapa sejak masuk kuliah saya mulai mengendurkan batas toleransi saya dengan para perokok. Hampir sebagian besar anak laki-laki yang saya temui di kampus adalah perokok. Saya pun banyak bergaul dekat dengan mereka di beberapa organisasi kampus. Awalnya saya terganggu, tetapi saya diam. Saya hanya menahan napas ketika sekeliling saya mulai berlomba mengepulkan asap dari mulutnya. Mereka tidak selalu peduli dengan sekeliling, apalagi bila sudah berkumpul dengan sesama perokok. Saya dan para perokok pasif lah yang akhirnya mengalah. Menyebalkan? Hm, awalnya. Lama-lama kami terbiasa.

Pertengahan tahun 2012, saya mulai tertarik untuk mencoba. Seorang kakak kelas beberapa kali menawarkan saya rokoknya yang berbungkus putih-hijau. Dalam beberapa kali kesempatan, saya langsung menolak, tanpa alasan. Superego saya yang berbicara. Di beberapa malam berikutnya, saya mimpi berulang-ulang, menghisap berbatang-batang rokok sambil menenggak bir dan tertawa-tawa. Pelampiasan Id yang hanya dapat disalurkan saat terlelap.

“Nih.” Ia menyodorkan sebatang Marlboro sambil menggigit sebatang lagi dengan bibirnya.

“Eh?” Saya refleks menggeleng. Terkejut.

“Sudah, cepat. Mumpung sepi, tidak ada orang.” potongnya sambil bersandar malas di samping saya.

“Bagaimana tidak ada orang?” Saya melempar pandangan ke sekeliling. Kami sedang berada di sebuah art space sekaligus restoran. Beberapa kelompok pengunjung berada di sekitar kami, sibuk dengan urusannya masing-masing.

“Nih, begini caranya.” Ia memberikan tutorial menyalakan batang rokok untuk saya. Privat. “Gampang, kan? Nih.” Ia kembali menyodorkan sebatang.

Saya menggigit bibir pertanda gugup. Tangan saya hampir bergerak meraih batang silinder putih itu, tetapi tidak jadi. Saya menggeleng lemah. “Nanti saja, pasti ada kesempatan lagi.”

“Hmm, tidak tahu, ya. Kesempatan kadang tidak datang dua kali.”

Diam-diam saya mengagumi sosoknya saat menghisap dan mengepulkan asap putih dari mulutnya. Mata coklatnya yang menyipit saat menghisap rokok menghasilkan garis-garis keriput di ujung luar matanya. Tampan sekali. Sementara beberapa orang akan terlihat mengerikan dan bodoh saat merokok, dia tidak akan pernah termasuk dalam golongan itu. Ia tinggi, tampan, gagah dan semua keindahannya itu terlihat bertambah beberapa kali lipat ketika ia menyalakan batang silinder putih itu di balik telapak tangannya. Sosok sempurna untuk mengiklankan produk rokok.

Di sebuah pagi, akhirnya kami berdua duduk menonton televisi di ruang tamu. Di atas meja, ia telah memotongkan pepaya dalam satu piring untuk sarapan kami. Ya, selain berusaha mengajari saya merokok di berbagai kesempatan, ia juga berusaha menularkan pola makan sehatnya kepada saya. Aneh memang. Pagi itu, ia sibuk mengganti channel televisi sedangkan saya tenggelam dalam video-video ajaib di Youtube. Sembari menonton, saya curi-curi melihat ke arah bungkus rokok favoritnya di atas meja. Saya menunggu ia meraih dan mengambil sebatang isinya seperti kebiasaannya setelah makan tetapi momen itu tidak kunjung datang. Sebentar lagi kami harus berpisah dan tidak tahu kapan akan bertemu lagi. Saya mulai resah. Sementara itu, ia tetap duduk diam di sofa, menonton televisi dengan rambut berantakan sehabis bangun tidur.

“Merokok, dong.” pinta saya dengan gugup.

“Ha? Apa?”

“Iya, kamu merokok dong. Biar saya bisa minta.”

Ia lalu hanya tertawa sambil menyalakan sebatang rokok.

Saya menunggu penawarannya, tetapi tidak terjadi.

Tidak banyak yang tahu keinginan-keinginan terpendam yang saya miliki. Keinginan-keinginan yang saya yakini sebagian di antaranya akan dianggap jauh keluar batas oleh teman-teman dan terlebih orangtua saya. Mengecat rambut dengan warna biru, membuat tato, mencukur habis rambut dan merokok adalah beberapa dari keinginan-keinginan itu. Sebagian keinginan-keinginan itu sangat ingin saya wujudkan, sementara sebagian lainnya boleh saja tidak terwujud. Mungkin saja ini hanyalah fase pemberontakan yang dialami sebagian besar manusia dalam prosesnya bertumbuh dewasa. Atau mungkin saja ini adalah diri saya sesungguhnya yang meminta segera diaktualisasikan.

Menjelang sore. Kami sedang berkumpul di satu ruangan bersama dua teman lainnya, bersiap-siap. Satu jam kemudian kami akan meluncur ke daerah Kemang untuk memenuhi sebuah undangan minum kopi. Kami berdua duduk berhadapan di sebuah meja. Tanpa saya duga, momen itu akhirnya tiba.

Ia menyalakan sebatang rokok favoritnya lalu menyodorkan bungkusnya pada saya. Seperti kesempatan-kesempatan sebelumnya.

“Nih, katanya mau coba, kan?” tanyanya sambil tersenyum nakal.

Saya segera meraih kardus putih itu dan mengambil sebatang rokok dari dalamnya.

“Mm…bagaimana caranya ini?”

Ia terbahak lalu mengambil rokok itu dari genggaman saya.

“Begini caranya…” Ia menaruh rokok milik saya di mulutnya lalu menyulutnya dengan korek. “Setelah terbakar, kamu hisap. Nih.”

Saya mengambil kembali rokok yang sudah terbakar itu lalu meletakannya di antara kedua bibir saya. Manis.

Beberapa kali saya coba menghisapnya dan tidak merasakan apapun. Ia kembali terbahak.

Saya suka sekali melihat matanya menyipit saat tertawa.

“Kalau sudah kamu hisap, tahan dulu asapnya di mulut. Setelah itu hirup udara dengan hidung seperti bernafas biasa…”

Ia mengambil sebatang rokok lagi sebagai alat peraga dalam tutorial ini. “Begini, perhatikan saya…”

Saya memperhatikannya dengan seksama. Tiba-tiba wajah ibu melintas di benak saya.

“Saya teringat ibu saya.”

Ia kembali terbahak. “Sudah, lakukanlah. Kali ini, no second chance.”

Kemudian saya melakukannya. Persis seperti tutorial yang diberikannya pada saya.

Seketika rasa hangat dan harum cengkih dan tembakau menjalari paru-paru saya.

Manis.

“Nah, bagaimana rasanya?” tanyanya dengan mata menyipit tanda senang.

“Hangat. Not that bad. Tidak seburuk bayangan saya, anehnya.” Saya mengulurkan rokok saya kepadanya.

Untuk ke sekian kalinya ia terbahak sore itu, meraih rokok saya dan menghisapnya beberapa kali sebelum dimatikannya di asbak.

Kami berdua tersenyum. Puas.